12/09/2012

Mahasiswa Praktis


Mahasiswa  adalah rotor penggerak zaman. Jika dicermati secara lebih dalam,sekiranya ada makna lain yang sering kita abaikan.Mahasiswa, tanpa kita sadari juga merupakan pengikut buta kemajuan  zaman.”
Meski  tulisan ini tidak serta merta mewakili seluruh mahasiswa Indonesia, tapi hal ini setidaknya mewakili gambaran umum yang terjadi di kalangan mahasiswa Indonesia akhir-akhir ini. Seiring berjalannya waktu, ada hal-hal urgen yang mulai bergeser dari budaya mahasiswa Indonesia. Hal yang paling kentara dewasa ini adalah  budaya berpikir  mahasiswa .Budaya berpikir  praktis. Hal inilah yang mungkin tidak bisa disangkal. Memang benar,  dengan semakin majunya teknologi berbagai permasalahan mulai terselesaikan dengan lebih cepat dan mudah. Sebab  jarak setiap individu  dengan  individu yang lain seakan tanpa sekat ruang dan waktu, namun  yang perlu dicermati adalah  budaya berpikir seperti ini malah menjadi bumerang. Akibatnya menimbulkan generasi ketergantungan  terhadap teknologi yang berlebihan. konkritnya  muncul  budaya berpikir  praktis. berpikir hanya bagaimana permasalahan jangka pendek segera terselesaikan.
Berawal dari  semakin membeludaknya media informasi dan sosial, sehingga mau atau tidak mau mahasiswa yang lumrah disebut sebagaiagent of change pastilah tidak mau dianggap sebagai agen yang tertinggal, jelasnya mahasiswa tidak mau ketinggalan informasi dan urusan tetek mbengek jejaring sosial. Namun sayang, tidak semua mahasiswa menggunakan media sosial dan informasi sebagaimana mestinya. Khusus untuk media informasi, derasnya arus informasi tanpa kita sadari memaksa  kita menelan mentah-mentah informasi  yang nyaris tanpa  filterisasi. Alih-alih mendapatkan informasi yang mengena, yang kita terima pun  kebanyakan hanya lalu lalang  dan akhirnya hilang begitu saja. Belum lagi jejaring sosial yang lebih banyak terisi status-status keluhan dan ratapan kehidupan (mungkin tak ubahnya meratap di tembok ratapan Jerussalem ). Disini jelas waktu produktif mahasiswa yang seharusnya digunakan untuk melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat seperti kegitan sosial,berorganisasi,menulis,berkreasi mulai terabaikan. Dampak umum yang mungkin  bisa kita rasakan adalah semakin banyak  mahasiswa yang cenderung sosial dijejaring dunia maya namun asosial di kehidupan nyata, yang pasti mereka mulai sibuk dengan dunianya sendiri. Lebih jauh pola pikir mahasiswa sedikit banyak terkuras dijejaring sosial. Hal ini  jelas menjadi titik awal pergeseran budaya berpikir mahasiswa.
Keterkaitan Profesi

Terkait dengan profesi, tampaknya memang benar mahasiswa kian mengarah ke profesi yang terlihat praktis dan tampak  jelas di pelupuk  mata. Indikatornya,  umumnya prodi-prodi favorit yang dipilih  calon mahasiswa adalah prodi dengan persentase keterhubungan kerja  lebih cepat. Hal ini menunjukkan bukan masalah gengsi yang dipertaruhkan, tapi  lebih bagaimana kedepannya,  prodi yang ia ambil segera mendapatkan  pekerjaaan yang nyaman. Di lain pihak ,hal ini  diperparah dengan tidak adanya mata kuliah filsafat di semua prodi di setiap universitas. Sebagai akar ilmu ,filsafast seharusnya di terapkan di masing-masing  prodi, agar di kemudian hari  tidak memunculkan mahasiswa-mahasiswa “pekerja” yang hanya mementingkan materi tanpa memperhatikan etika. Meski tidak semua  mahasiswa harus menjadi  pemikir.
Upaya Penanganan Budaya Praktis
Memang benar jika suatu kebudayaan dikatakan pisau bermata dua. Disatu sisi jelas membawa optimisme dalam kemajuan peradaban umat manusia.Tengok saja berbagai penemuan oleh ilmuwan yang manfaatnya masih bisa kita rasakan sampai sekarang, Semisal lampu. Namun pada sisi yang lain, kebudayaan jelas menjadi ancaman bagi kelanjutan hidup umat manusia. Jikalau dalam mengembangkan budayanya manusia salah kaprah dalam mengambil langkah. Yang mana, terkadang manusia cenderung mengabaikan dua aspek kebutuhan manusia yang apabila tidak segera ditangani akan menimbulkan masalah akut.
Manusia sebenarnya secara kodrati bersifat monodualis. Artinya ia adalah mahluk individu sekaligus sosial, mahluk jasmani sekaligus rohani, mahluk yang merdeka sekaligus mahluk yang terikat dengan Tuhannya, dan mahluk yang butuh materi sekaligus non-materi(Notonagoro: 1975) .Berdasarkan hal ini,  jelas bahwa  Mahasiswa sebagai salah satu Struktur penyangga kehidupan sosial seharusnya meletakkan kebutuhan secara proporsional .Namun fakta yang berkembang, Mahasiswa justru mengalami disorientasi. Orientasi yang ngawur dalam mengambil langkah kebudayaanya. Mahasiswa cenderung terlalu melebih-lebihan kebuthan materi daripada non-materi. Khususnya dalam kaitannya teknologi. Mahasiswa tergolong penikmat akut teknologi, tanpa dasar yang dapat dipertanggungjawabkan.
Untuk itu, perlu adanya enkulturasi yang seharusnya diupayakan mahasiswa dalam meminimalisasi disorintasi kebudayaan. Agar kedepannya, generasi mahasiswa praktis tidak menjadi masalah baru dalam perkembangan  budaya Indonesia. Diantaranya:
1.Gunakan media informasi dan jejaring sosial sesuai kebutuhan. Mungkin perkataan ini tampak klise, namun memang hal ini jelas merupakan sesuatu hal yang seharusnya diperhatikan mahasiswa dalam mengakses kebutuhannya akan media. Betapa tidak, menurut pengamatan penulis. Banyak dari mahasiswa  sering mengupdate status sekedar hanya untuk menadapatkan like dari teman-temanya, hal ini diperparah dengan seringnya update yang dalam pandangan penulis “terlalu berlebihan”dan “tidak perlu”. Lain halnya dengan kebutuhan  informasi yang mana dalam prosesnya mengalami penumpukan. Maka perlu penegasan dari pribadi mahasiswa untuk fokus akan informasi yang seharusnya dibutuhkan .Pilah-pilah yang dianggap penting. Jangan sampai terjadi mahasiswa mengetahui  ribuan informasi  (baca: berita ) namun tidak mengetahui substansi yang disampaikan sebuah informasi.
2. Carilah partner atau kawan-kawan yang berorientasi masa depan, harapannya ketika kita telah terlena terhadap sesuatu hingga kecanduan. Maka ia akan dengan mudah mengingatkan kita akan batas-batas penggunaan teknologi(baca:media informasi dan jejaring sosial).
3.Upayakan mindset kita tentang pentingnya cara daripada hasil. Konkritnya jadilah mahasiswa anti KKN,  jangan bangga dengan hasil yang kita peroleh namun ada benalu yang menempel. Banggalah terhadap cara-cara lurus yang kita lakukan dalam memecahkan masalah, meskipun mungkin cara yang kita lakukan terkadang tidak membuahkan hasil yang kita harapan.
4. Upayakan untuk tidak melakukan plagiat dan copy paste. Hal ini mungkin awalnya sepele dan tidak berarti. Namun jikalau hal ini dilakukan secara terus menerus, maka akan membunuh karakter. Dan yang pasti anda telah mengingkari kenikmatan yang telah diberikan Tuhan. Kenikmatan berpikir.
5. Alihkan kecanduan kita terhadap teknologi(baca:media informasi dan jejaring sosial)  terhadap hal-hal yang lebih positif seperti menulis diblogger, bisnis online, berdiskusi dalam forum online, teleconferencedengan skype, mengikuti kuliah gratis dengan jaringan internasional dicoursera.org, dan hal-hal positif lainnya.
Apa yang saya tulis kali ini tak ubahnya merajut kembali titik relevansi petuah lama yang mungkin mulai pudar. “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”. Mari bersama-sama membudayakan hal-hal yang positif !!!

0 komentar:

Posting Komentar